Uang Rakyat (katanya) untuk Rakyat, Benarkah ?

Kata rakyat berulang-ulang terdengar dalam ruang rapat ber AC dan dipenuhi asap rokok. Dokumen tebal yang isinya rencana kerja pemerintah setahun kedepan menumpuk depan meja. Sesekali terdengar perdebatan, selebihnya terdengar tawa dan ungkapan puas setiap ada yang disepakati dua belah pihak.

Begitu rutinitas setiap tahun, pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dua belah pihak, eksekutif dan legislatif duduk bersama membahas rencana serta anggaran secara detail. Mereka bersemangat, yang kemarin malas rapat menjadi rajin, yang kemarin malas ngomong menjadi lebih cerewet dan yang kemarin jarang ketemu rakyat sekarang dimulutnya rakyat melulu.

Namun benarkah memang APBD itu untuk rakyat? APBD yang sejatinya adalah uang rakyat yang dipungut dan dikumpulkan dari berbagai pajak dan retribusi dari petani, nelayan, pedagang kaki lima, pemilik warung makan, pemilik warung kopi dan seluruh elemen rakyat diserahkan ke pemerintah yang tujuannya uang itu digunakan sebaik mungkin untuk kemajuan dan kebaikan.

Tapi lihat saja postur APBD dimana belanja gajinya lebih besar ketimbang belanja publik. Itu diluar uang honor-honor  ditambah uang pembelian ATK dan makan minum disetiap kegiatan. Belum lagi uang perjalanan dinas yang nilainya fantastis. Parahnya, tidak sedikit yang tak punya malu, mereka dengan bangga mengunggah foto-foto jalan-jalan mewah mereka di media sosial, seakan berkata ke publik "Hai rakyat, ini fotoku jalan-jalan pakai uangmu. Semangat bekerja yah, jangan lupa berdoa dan ingat bayar pajak,".

Rapat, rapat pembahasan uang rakyat dilakukan dengan serius, mengejar target waktu. Saking seriusnya, mereka kerap begadang sampai dinihari dan lanjut pagi lagi untuk membahas dokumen-dokumen ini. Selain mulut tak berhenti bicara, tangan sesekali menulis, sesekali mereka juga mengabadikan kegiatan ini dengan berfoto untuk di upload lagi ke medsos. "Hai rakyat, inilah kami. Rela begadang untuk membahas nasibmu, kasihani kami,".

Begitulah, sampai pada sebuah rapat besar, paripurna namanya. Eksekutif dan legislatif berkumpul menetapkan kesepakatan mereka. Suara palu sidang bunyi tiga kali diikuti dengan tepukan tangan seragam, tanda kepuasan kedua pihak, pemerintah dan wakil rakyat.

Lalu dimana rakyat, saat uang mereka yang katanya dibahas untuk kepentingan mereka dibahas?

Petani tetap disawah dan ditambak, nelayan tetap dilaut, pedagang kaki lima tetap berjualan, tukang bentor tetap beroperasi dan kita semua tahu bawa uang triliunan itu sudah dibahas beberapa saat setelah rapat dari media online. Tak ada tepukan dari rakyat,  tepuk tangan untuk apa?  Rakyat terpisah dari pembahasan itu. Rakyat sesungguhnya ikhlas menyerahkan pajak dan retribusi, mereka percaya uang mereka akan digunakan dengan baik. Rakyat juga ikhlas tak dilibatkan membahas uang dan nasib mereka, sebab gedung-gedung rapat itu terlalu mewah buat mereka, cukuplah mereka menunggu sebab orang-orang dalam gedung itu akan datang lagi jelang pemilu. Jangan salahkan rakyat bila salah menilaimu.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Uang Rakyat (katanya) untuk Rakyat, Benarkah ?"

Post a Comment