UANG

Ada batu besar dalam kepala lelaki itu, mengganjal otaknya hingga tak bisa berputar. Buntu. Terpaku dia, serasa sebuah pasak besar menusuk kepalanya tembus ke leher, dada, perut, paha, betis telapak kaki hingga ke tanah. Ia merasa tak punya pilihan bergerak, dunia serasa sempit. Pantatnya rapat ke kursi cafe, seperti tak ada ganjalan dompet. Dompetnya tipis.

Hujan turun, lelaki itu masih duduk di cafe. Kopi dalam gelasnya habis, kembali ia minta segelas. Itu gelas keempat. Sebelum azan Duhur ia sudah disana. Kepulan asap dari mulutnya hampir tak berhenti. Asbak di atas mejanya tak muat menampung puntung rokoknya yang bermerek murah.

Manju namanya, usia sekitar 32 atau 33. Dia aktifis, asli aktifis. Sejak kuliah satu kampus mengenalnya tukang demo. Tak ada kebijakan pemerintah yang tidak direspon dengan demonstrasi. Baginya, kekuasaan sejati hanya muncul lewat revolusi, bukan pemilu kaum borjuasi seperti yang ada sekarang. Kekagumannya pada sejarah revolusi 45 dan Sukarno sangat dalam. Bacaan tentang marxisme, biografi tokoh revolusi kerap menjadi pidatonya kepada teman-teman atau juniornya.

Saat ini, dia masih aktifis. Meski sudah memiliki istri dan anak, dunia pendampingan dan demomstrasi masih digelutinya. Meski sudah lebih membuka diri terhadap "musuh" lamanya, dia masih juga mengaku mnejaga diri dari virus kekuasaan.

Hidup memang pilihan. Manju memilih hidup pas-pasan, miskin tepatnya. Meski kebutuhan keluarganya mendesak, beli beras, lauk, popok bayi, uang sekolah, jajan, listrik, air retribusi sampah dan sebagainya membuatnya banting tulang untuk bertahan hidup. Sejumlah tawaran datang dari kawan lamanya untuk bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat ditolaknya. Kawan-kawan lamanya yang kini masih "aktifis" bisa berperan ganda, LSM plus kontraktor plus tim sukses pilkada dan lain-lain, Manju menolak. Selain masih aktif mendampingi warga, ia memilih jualan koran salah satu sudut kotanya. Minimal, selain dapat uang, ia juga dapat informasi.

IStrinya bukan aktifis, tak mengerti apa tujuan suaminya. Ia hanya mendukung saja. Cinta.  Manju berkenalan dengan Siti beberapa tahun lalu. Tak butuh waktu lama untuk menaklukkan hati sang pujaan hati. Sebenarnya Siti bukan perempuan yang sabar-sabar amat. Kondisi ekonomi yang membuatnya pasrah, sabar dan mendukung apapun yang Manju lakukan. Siti, perempuan Makassar yang sejatinya susah ditundukkan.

Gelas kopi keempat habis. Teleponnya berdering lembut. Handpone itu dibaliknya hingga deringnya lebih kecil, nyaris tak terdengar. Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia tahu kalau itu Siti, wanita yang disayangnya. Entah itu panggilan ke berapa puluh kali. Pesan singkat bertubi-tubi juga dikirim Siti. Hanya satu dua yang dibacanya. Siti minta uang untuk membiyai kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya. Dihela nafas panjang hingga tak ada lagi ruang untuk oksigen dalam dadanya lalu dihembuskannya. Habis.

Sebenarnya ia sudah membalas pesan Siti, Manju berjanji akan membayar semuanya besok. Siti menolak, harus sekarang. Manju paham jika istrinya meradang, kata "besok" sudah dijanjikan ke Siti sejak pekan lalu. Siti menyuruhnya agar meminta pinjaman keteman-temannya. Lalu kepada siapa lagi manju harus berhutang? Teman-temannya tahu kalau penghasilan Manju tak kan bisa melunasi hutangnya. Banyak dari mereka yang mengikhlaskan dan berjanji tidak memberikan lagi.

Ia kembali mencoba memutar otak. Tapi tak bisa. Batu pengganjal dalam kepalanya semakin besar. Jelang malam, hujan tak berhenti. Ia berjalan keluar cafe berjalan dalam hujan. Lelaki itu pulang ke rumahnya meski tahu, amarah Siti akan meledak kalau tahu ia pulang tanpa uang.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "UANG"

Post a Comment