Menolak Lupa; Dulu Pernah Ada Koran Harian Pedoman Rakyat
Harian Pedoman Rakyat adalah surat kabar Indonesia yang terbit di Makassar sejak 1 Maret 1947. Pendirinya adalah Soegardo (1916-1955) dan Henk Rondonuwu (1910-1974).
Media Perjuangan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Pemerintah Belanda di bawah pimpinan Dr Van Mook, berupaya menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia dengan politik memecah-belah, lewat pembentukan negara bagian.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Pemerintah Belanda di bawah pimpinan Dr Van Mook, berupaya menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia dengan politik memecah-belah, lewat pembentukan negara bagian.
Rakyat Indonesia ketika itu terpecah menjadi dua golongan, yakni Golongan Republikein yang konsekuen mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta Golongan Federalis yang termakan pengaruh Van Mook.
Bagian timur Indonesia waktu itu disiapkan sebagai satu negara bagian diberi nama Negara Indonesia Timur (NIT). Karena berbagai reaksi menentang rencana itu, Belanda melarang kegiatan politik lewat partai-partai politik.
Kaum Republikein tetap konsisten tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Salah satu jalan untuk tetap memperjuangkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, adalah melalui surat kabar. Maka, pada hari Sabtu, 1 Maret 1947 diterbitkanlah Majalah Tengah Boelanan: Pedoman.
Intimidasi Belanda
Kehadiran Pedoman tidak disenangi Pemerintah Belanda dalam NIT. Pertengahan tahun 1947, Pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan mengusir Pimpinan Umum/Redaksi Pedoman, Soegardo dari wilayah NIT.
Kehadiran Pedoman tidak disenangi Pemerintah Belanda dalam NIT. Pertengahan tahun 1947, Pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan mengusir Pimpinan Umum/Redaksi Pedoman, Soegardo dari wilayah NIT.
Pedoman kemudian diteruskan pengasuhnya di bawah pimpinan Henk Rondonuwu sebagai Pemimpin Umum/Redaksi dan dibantu oleh beberapa reporter muda yang penuh vitalitas, antara lain LE Manuhua (almarhum). Pada saat itu, Pedoman yang semula terbit tengah bulanan meningkat menjadi minggoean.
Berkat dukungan positif dari masyarakat daerah ini, pada 17 Agustus 1948, selain Minggoean Pedoman, juga diterbitkan sebuah surat kabar harian diberi nama Pedoman Harian. Karena waktu itu Pemerintah Belanda tidak membolehkan percetakan untuk mencetak surat kabar, maka Pedoman Minggoean dan Pedoman Harian terbit stensilan.
Oktober 1948, Percetakan Drukkery Macasser membuka kesempatan kepada Minggoean Pedoman. Karena biaya cetak cukup tinggi, Pedoman hanya mampu cetak beberapa kali di percetakan tersebut.
Langkah berikutnya, Pemerintah Belanda kembali melancarkan intimidasi terhadap pers Republikein di daerah ini. Dengan alat judikatif, Belanda menuntut sejumlah penanggung jawab surat kabar, dengan tuduhan menghina Ratu Belanda.
Henk Rondonuwu sebagai penanggung jawab redaksi Pedoman dan Pedoman Harian dihukum penjara tiga bulan. Minggoean Pedoman berhenti terbit untuk sementara, sedangkan Pedoman Harian tetap terbit.
Pedoman Nusantara
Tahun 1949, selain Pedoman Harian tetap terbit, diterbitkan pula Mingguan Pedoman Nusantara yang merupakan hasil merger (gabungan) dari Pedoman, Mingguan Nusantara, serta Mingguan Pedoman Wirawan sebagai gabungan dari Rubrik Pemuda pada Mingguan Pedoman dengan Majalah Pemuda Wirawan. Semua penerbitan itu diterbitkan Badan Penerbit Nasional Pedoman.
Tahun 1949, selain Pedoman Harian tetap terbit, diterbitkan pula Mingguan Pedoman Nusantara yang merupakan hasil merger (gabungan) dari Pedoman, Mingguan Nusantara, serta Mingguan Pedoman Wirawan sebagai gabungan dari Rubrik Pemuda pada Mingguan Pedoman dengan Majalah Pemuda Wirawan. Semua penerbitan itu diterbitkan Badan Penerbit Nasional Pedoman.
Harian Pedoman Rakyat
Fase perjuangan nasional terus meningkat. Pedoman dan Pedoman Harian tetap terbit karena dua media ini kebetulan tidak dilarang Pemerintah Belanda.
Fase perjuangan nasional terus meningkat. Pedoman dan Pedoman Harian tetap terbit karena dua media ini kebetulan tidak dilarang Pemerintah Belanda.
Suasana politik berubah ketika penyerahan kedaulatan tahun 1950. Para pengasuh Pedoman dan Pedoman Harian sudah menganggap bukan waktunya lagi meneruskan penerbitan ini dalam bentuk stensilan, apalagi Percetakan Drukkery Macasser memberi kesempatan cetak lagi bagi Pedoman dan Pedoman Minggoean.
Mulai November 1950 diterbitkanlah harian Pedoman Rakyat sebagai gabungan semua penerbitan sejak Tengah Boelanan Pedoman 1 Maret 1947.
Seiring dengan pemakaian nama baru, juga berubah bentuk menjadi surat kabar umum (broadsheet) dengan cetak offset. Rencana penerbitan itu memiliki percetakan sendiri sejak 1948 baru terwujud pada 1952/1953. Pemerintah prafederal saat itu memberikan bantuan lima unit mesin percetakan pers didatangkan dari luar negeri.
Pada mulanya lisensi satu unit percetakan itu diberikan kepada Badan Penerbit Nasional Pedoman, tetapi ada perubahan suasana politik. Pemerintah mengubah keputusan menyerahkan kepada tiga penerbit nasional di Makassar, yakni tiga harian, masing-masing Pedoman Rakyat, Marhaen, dan Sulawesi Bergolak.
Percetakan Sulawesi
Tiga harian ini kemudian membentuk PT Penerbitan dan Percetakan Sulawesi, diresmikan 17 Agustus 1953. Setelah pengresmian, Sulawesi Bergolak berhenti terbit, sehingga pengelolaan percetakan dan penerbitan tersebut dilanjutkan oleh Pedoman Rakyat dan Marhaen.
Tiga harian ini kemudian membentuk PT Penerbitan dan Percetakan Sulawesi, diresmikan 17 Agustus 1953. Setelah pengresmian, Sulawesi Bergolak berhenti terbit, sehingga pengelolaan percetakan dan penerbitan tersebut dilanjutkan oleh Pedoman Rakyat dan Marhaen.
April 1959, status PT Percetakan Sulawesi dialihkan secara sewa beli kepada Pedoman Rakyat dan Marhaen. Percetakan milik pemerintah itu menjadi milik sepenuhnya PT Percetakan Sulawesi tahun 1970. Badan Penerbit Marhaen kemudian melepaskan hak turut sertanya tanggal 1 Mei 1972, dengan menjual sahamnya kepada Pedoman Rakyat (Firma Perak).
Pedoman Rakyat Tidak Terbit Lagi
Pascakepemimpinan LE Manuhua, sekitar pertengahan 1990-an, harian ini memasuki babak baru dengan dibentuknya struktur jabatan direksi.
Pascakepemimpinan LE Manuhua, sekitar pertengahan 1990-an, harian ini memasuki babak baru dengan dibentuknya struktur jabatan direksi.
Sebelumnya, Pedoman Rakyat di bawah kendali Pemimpin Umum/Redaksi LE Manuhua, namun setelah itu dibentuk struktur baru dengan Direktur Utama yang pertama JB Pinontoan yang dibantu Hasanuddin Tahir alias Tatang sebagai Direktur I, dan Luthfi Qadir sebagai Direktur II.
Beberapa tahun kemudian dilakukan pergantian direksi. Ventje S Manuhua, yang tidak lain anak kandung LE Manuhua dipercaya menjabat Direktur Utama PT Media Pedoman Jaya. Ventje dibantu Direktur I Luthfi Qadir, dan Direktur II Ardhy Basir.
Setelah itu, Peter Gozal yang pengusaha perhotelan masuk menjadi direktur utama. Ia didampingi tiga direktur, yakni Direktur Pemberitaan dan Pengembangan Asdar Muis RMS, Direktur SDM Luthfi Qadir, dan Direktur Keuangan Badaruddin.
Ketika Peter Gozal mundur sebagai direktur utama, harian Pedoman Rakyat sempat tidak terbit selama kurang lebih 40 hari antara Februari hingga awal April 2007.
Ventje Manuhua kemudian menerbitkan kembali Harian Pedoman Rakyat pada April 2007, tetapi tidak bertahan lama. Harian Pedoman Rakyat terbit terakhir kali pada 2 Oktober 2007. Sejak 3 Oktober 2007 hingga tulisan dibuat pada 13 Agustus 2009, Harian Pedoman Rakyat tidak lagi terbit untuk menemui pembacanya.
Tidak Ada PHK
Meskipun sudah tidak terbit lagi, pihak manajemen Pedoman Rakyat tidak pernah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Di sisi lain, belum pernah ada pernyataan resmi dari para pemegang saham bahwa perusahaan PT. Media Pedoman Jaya yang menerbitkan Harian Pedoman Rakyat, sudah dinyatakan pailit.
Meskipun sudah tidak terbit lagi, pihak manajemen Pedoman Rakyat tidak pernah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Di sisi lain, belum pernah ada pernyataan resmi dari para pemegang saham bahwa perusahaan PT. Media Pedoman Jaya yang menerbitkan Harian Pedoman Rakyat, sudah dinyatakan pailit.
Para pemegang saham malah saling menuntut di pengadilan tentang porsi pembagian saham dari hasil penjualan aset perusahaan. Sejumlah wartawan dan karyawan kemudian melakukan upaya hukum dengan melapor ke Kantor Dinas Tenaga Kerja Kota Makassar.
Dinas Tenaga Kerja kemudian memediasi pertemuan antara para pemegang saham dengan karyawan di Kantor Dinas Tenaga Kerja Makassar. Namun karena tidak ada kesepakatan, akhirnya persoalan tersebut dibawa ke Pengadilan Tata Niaga Makassar. Sampai tulisan ini dibuat (13 Agustus 2009), sudah empat kali dlakukan sidang.
Sementara itu, sejak tidak terbit lagi pada 2007, beberapa wartawan dan karyawan Harian Pedoman Rakyat telah meninggal dunia, yaitu Arthur Kuse (wartawan), Indarto (wartawan), Usman Sanaki (karyawan), Abdul Latief (karyawan), dan Lambert F. Sahertian (karyawan).
(Sumber : wikipedia.com)
0 Response to "Menolak Lupa; Dulu Pernah Ada Koran Harian Pedoman Rakyat"
Post a Comment