Aku, Lelaki Ternate dan Batu

Lelaki asal ternate itu duduk, ranselnya yang berat ditaruh pelan ke lantai. Dengan lincah isi tas dibuka dan satu persatu isinya dikeluarkan, bongkahan baru, kayu ular dan minyak kayu putih kebanggaan kampung halamannya. Senyum penuh harap terpasang di wajahnya sambil promosi satu persatu barang dari tasnya.
"Itu kayu ular dari irian pak, rasanya pahit tapi khasiatnya sangat bagus untuk organ dalam. Kalau tidak percaya silakan buka internet," rupanya dia tahu kebanyakan kami memang sedang surfing didunia maya.
Pengunjung warkop yang di meja sebelah rupanya tertarik pada bongkahan-bongkahan yang tergeletak diatas meja. Beberapa buah bongkahan pindah meja, disenter dan mereka terlihat serius mendiskusikan bongkahan  itu. Sambil menunggu bongkahannya yang menjadi tema diskusi di meja sebelah lelaki itu bercerita tentang rencana kepulangannya ke Ternate. "Tadi saya terima telepon dari istri, anak saya sakit jadi saya harus pulang kampung dulu," ujarnya. Dia tidak kuasa menahan rindu pada balita yang menjadi alasannya merantau. Sesekali sinar matanya redup, ada rindu yang seorang bapak terpancar disana.
Namun bukan tentang istri atau anaknya inti cerita. Lelaki legam itu menceritakan batu, ya batu. Sebuah batu peninggalan moyangnya yang menurutnya diturunkan ke kakek buyutnya lalu ke kakeknya terus ke bapaknya dan oleh bapaknya batu permata itu diserahkan padanya sebelum bertolak ke pulau seberang, Sulawesi. Dari semua batu yang dibawanya, batu itu tak dijual. Tak bernilai.
Lalu kutanyakan dimana batu permata itu. Dia diam, sesaat tersenyum, getir tergambar menceritakan kehilangan batu yang merupakan  warisan keluarganya. "Diambil sama bapak polisi," ujarnya dengan dialek khas ternate. Dari penuturannya, sebenarnya baru itu DIRAMPAS. Seorang anggota polisi memaksanya untuk melepas batu itu dengan ancaman barang dagangannya akan disita. Dia diberi dua ratus ribu rupiah oleh si pak polisi, sekadar formalitas  jual beli.
Terbayang wajah Jenderal Soegeng, saat itu dikepalaku. Wajah polisi sederhana, menegakkan hukum, menjadi pelindung dan pengayom tanpa pamrih. Jangankan meminta, diberi saja belum tentu dia mau, apalagi memaksa atau merampas. Terbayang juga wajah Baharuddin Lopa, seorang penegak hukum yang mengembalikan perabotan mewah dan uang banyak dari seorang pengusaha.
Tapi kelakuan polisi yang merampas batu ternate itu membuatku membayangkan tentara VOC yang memaksa petani menjual hasil bumi kepada mereka dengan harga yang ditentukan sepihak oleh Belanda. Benar kata banyak orang, semua sama didepan hukum, tapi tidak sama didepan penegak hukum.
Lelaki itu merapikan jualannya. Memasukkannya kembali kedalam ransel. Berjalan keluar dari warung kopi lalu hilang ditengah gerimis. Ia pulang dengan janji untuk kembali bawakan aku batu bacan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Aku, Lelaki Ternate dan Batu"

Post a Comment