Jika Solidaritas Seperti itu, Maaf Saya Menolak
Saya selalu terenyuh ketika mendengar ada wartawan yang menjadi korban kekerasan saat menjalankan aktifitas jurnalistiknya. Apalagi jika kekerasan (dalam segala bentuknya) itu dilakukan oleh institusi (sistematis) atau oknum (biasanya kambing hitam) lembaga negara yang mestinya tunduk pada konstitusi negara yang melindungi wartawan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Lalu sebagian dari kami, memilih untuk berserikat dengan mendirikan atau bergabung dengan organisasi kewartawanan. Tentu, salah satu alasannya untuk memperkuat solidaritas jika terjadi "apa-apa" kepada wartawan. Solidaritas dalam arti luas tentunya, dari sekedar mengutuk, mengecam, menuntut secara hukum sampai memboikot liputan untuk institusi maupun oknum yang kerjanya menghalangi kemerdekaan berkereasi para jurnalis.
Tapi itu tidak pernah terwujud. Solidaritas yang ada biasanya momentuman, emosional dan spontanitas belaka. Karena (maaf) serampangan, tidak maka dalam wujudnya tidak jarang organisasi wartawan sekedar menjadi berubah watak. Bormodal azas solidaritas, dengan legitimasi kelembagaan tanpa terbangun satu ideologi bersama banyak organisais wartawan yang sebatas nampak seperti dukun beranak. Dicari dan hanya muncul saat darurat.
Sementara, ditempat lain dengan lembaganya, banyak justru yang berwatak lebih NGO dari NGO yang sebenarnya. Kerjanya lebih banyak untuk melayani founding ketimbang membangun organisasi wartawan yang kuat dan disegani, khususnya oleh pemilik media. Prioritas kerja yaitu, mencari founding untuk kegiatan. Pelibatan anggota dengan dijadikan fasilitator belaka. Fasilitator untuk program founding (apalagi kalau asing). Saya pernah diajak bergabung oleh kawan jurnalis lain disalah satu organisasi wartawan. Kawan itu mengimingi saya dengan pendapatan yang wah, tentu katanya hanya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan seremosni seperti pelatihan atau seminar. Tidak ada yang salah dengan pelatihan, tapi ketika honor pelatihan menjadi motivasi, menurutku itu keliru. Saya menolak organisasi ini.
Ditempat lain, khususnya didaerah. Dibeberapa momen, saya berkali-kali mendapatkan nara sumber yang ternyata juga "wartawan". Heran saya! Dari kepala desa, pensiunan PNS, kepala sekolah, aktifis LSM, supir angkot, pejabat eselon III sampai pedagang toko kelontong didaerah itu memperlihatkan kartu anggota salah satu organisasi wartawan yang cukup disegani. Plus tentunya dengan ID Card media cetak. Biasanya, orang seperti ini saya coret dari daftar narasumber. Masa jeruk makan jeruk. Masa wartawan diwawancara sama wartawan.
Bukan hanya ID Card dan kartu angggota yang mereka miliki. Mereka bahkan melengkapi diri dengan baju seragam, khas dengan logo dan embel-embel pers. Pengurus dari organisasi ini juga mengajak saya bergabung, saya lagi-lagi menolak.
Untuk saat ini saya bersama sejumlah teman-teman wartawan membentuk kelompok kecil wartawan. Kami sengaja tidak menformalkan, tanpa akta notaris, tanpa SK, tak ada kantor,strukturnya cair. Jabatan koordinator tidak sakral, semua sama! Siapapun bisa jadi koordinator sesuai kesepakatan. Tujuannya tentu kami tidak ingin memberikan legitimasi kepada satu atau dua orang yang bisa mengklaim isi kepala dan isi hati kami untuk kepentingannya.
0 Response to "Jika Solidaritas Seperti itu, Maaf Saya Menolak"
Post a Comment