Usai Pilkada Kena Mutasi ; itu Resiko Pak !
Kemenangan dalam pilkada kerap diikuti dengan mutasi sejumlah pejabat. Pejabat yang kena mutasi, entah itu pergeseran atau pencopotan, diidentikkan dengan pejabat yang berpihak kepada lawan sang pemenang pilkada. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa itu adalah praktek balas dendam dan tidak dewasa dalam berpolitik. Sang pemenang lalu disimbolkan sebagai sosok yang kejam dan anti perbedaan.
Sesorang kawan berpendapat beda. Saat minum kopi di warung kopi yang berada disisi kali di kampungku, kawan ini mau agar calon yang didukungnya segera melakukan pembersihan (mutasi) kepada pejabat yang berpihak pada lawan politik saat pilkada. Menurutnya, yang utama dalam mewujudkan visi pemerintahan adalah kesolidan aparat dan itu mustahil jika aparat sejak awal sudah tidak loyal kepada piminannya.
"Harus mutasi kepada mereka yang kemarin dipihak lawan. Dengan berada dipihak lawan berarti dia tidak mau "bapak" jadi kepala daerah," paparnya kepada tiga orang hadirin yang satu meja.
"Enak sekali mereka kalau masih mau menjabat. Saat pilkada membantu calon lain, giliran kalah malah berharap jabatan," lanjutnya menggerutu. Dalam kepalaku membenarkan ucapannya.
Saya membayangkan pilkada seperti perang (dalam arti sesungguhnya, bukan politik). Dua belah pihak bernafsu saling mengalahkan. Berhadap-hadapan. "Kalau bukan kau saya". Adu taktik. Dengan satu tujuan, menang. Dan saat salah satunya menang, kekuasaan ditangan (maaf kalau bayangan saya berlebihan).
Berlebihan yah? Kan diatas sudah minta maaf. Ini pilkada, pertarungan politik dalam sistem demokrasi. Situasinya akan tetap sama, adu taktik, berhadapan dan bernafsu saling mengalahkan. Tetap saja harus ada yang kalah dan ada yang menang. Namun kalau dalam perang fisik, menang berarti berkuasa, kalah berarti mati, tapi dalam sistem demokrasi "menang berkuasa, kalah oposisi", bukan mengharap posisi.
Lalu bagaimana dengan mereka yang berpolitik praktis tapi bukan politisi, PNS? Bukankah hampir semua pilkada, persoalan netralitas PNS selalu menyeruak? Bagi PNS, menjadi oposisi sangat sulit karena (maaf) ekornya dipegang pimpinan.
Lalu bagaimana dengan mereka yang berpolitik praktis tapi bukan politisi, PNS? Bukankah hampir semua pilkada, persoalan netralitas PNS selalu menyeruak? Bagi PNS, menjadi oposisi sangat sulit karena (maaf) ekornya dipegang pimpinan.
"Tidak semudah itu bisa menggusur jabatan PNS. Harus ada alasan mendasar baru kepala daerah bisa mengambil keputusan mengganti pejabatnya. Persoalan pilkada tak boleh jadi alasan. Persoalan penempatan pejabat itu soal kompetensi dan persyaratan kepegawaian, pangkat dan golongan, bukan soal pribadi," kata seorang kawan PNS yang sedari tadi mendengarkan pidato kawan tentang mutasi.
Kopi diatas meja kami nyaris habis. Kuteguk pelan sisa kopiku dan menyulut sebatang rokok. Senyum-senyum saya mendengar dua pembicaraan dua orang kawan ini. Ya hidup memang selalu memberikan pilihan dan setiap pilihan selalu memiliki resiko yang besarnya sebesar peluangnya. Saat menentukan pilihan, alam sadar kita sudah siap untuk semuanya, "Menang atau kalah". Memilih adalah keharusan dalam politik, karena tidak memilih berarti kalah.
Tapi logika itu untuk politisi. Kembali ke pertanyaan diatas, lalu bagaimana dengan mereka yang berpolitik praktis tapi bukan politisi, PNS? Biarkan waktu yang jawab.
0 Response to "Usai Pilkada Kena Mutasi ; itu Resiko Pak !"
Post a Comment