Hujan dan Kekuasaan

Jutaan bulir hujan jatuh menghantam bumi. Gemericik suaranya semakin deras, seiring dingin telapak kakiku yang mulai tak tertahan. Dinginnya naik ke sekujur tubuhku. Aku tak beranjak mengambil selimut atau kaos kaki untuk sekadar membungkus kakiku yang dingin. Ah, ini sudah biasa.

Meski depan tivi, pikiranku melayang. Cerita seorang kawan di warung kopi tadi tertinggal disalah satu sel otakku. Ia bercerita tentang pilkada, ya omongan politik. Cerita tentang polemik pilkada didaerahku yang sepertinya akan berakhir di MK, karena laporan salah seorang pasangan calon yang dinyatakan kalah saat rekap suara di KPU. Politik memang candu, bayangan akan indahnya kekuasaan membuat orang rela berbuat apa saja demi sebuah kursi yang bernama kekuasaan.

Yang menarik, kawan itu bercerita tentang pembagian kue kekuasaan. Padahal pertempuran saja belum mulai, toh salah satu paslon, kata kawan saya sudah membagi habis jabatan kepala dinas, kepada badan, direktur perusahaan daerah, sampai mutasi pegawai yang dianggap berpihak di kubu lawannya. Hujan reda, dingin belum pergi.

Si kawan menyodorkan selembar kertas yang berisi jabatan lengkap dengan nama-nama yang sungguh kukenal untuk meyakinkanku.
Sebetulnya, aku muak dengan pembicaraan ini. Bukan sama kawanku, tapi soal "bagi-bagi jabatan".  Meski sebagian orang mungkin menganggap hal ini sesuatu yang biasa bagiku menjijikkan.

Terbayang wajah lugu rakyat yang hadir dalam sosialisasi dan kampanye calon kepala daerah. Mereka dijanjikan akan hidup dan masa depan lebih baik, setidaknya untuk lima tahun mendatang.  Janji manis tentang kesejahteraan, keadilan dan segala macam kebaikan adalah pembungkus dari niat mereka yang sekadar mau berkuasa.
Didepan rakyat mereka memelas untuk dipilih, nama tuhan dan nabi dibawa-bawa untuk menggiring rakyat mendukungnya. Tapi dibelakang, tak ada cerita tentang kebaikan, kesejahteraan, keadilan, yang ada hanya berkuasa dan membagi kekuasaan seenak perut.

Pantas saja mereka tim sukses (calon pejabat) mati-matian saat perilehan suara calonnya lebih sedikit. Mungkin Bukan soal kecurangan diteriakkannya dimedia sosal atau saat demonstrasi. Mungkin bayangan kue kekuasaan yang mereka impikan semakin menjauh dan mereka takut akan kenyataan itu.

Malam larut, istri dan anak bungsuku sudah tidur. Selembar selimut tipis dan kumal membungkus tubuh keduanya. Suara gerimis seperti simfony malam. Akupun mau bermimpi, mimpi tentang kekuasaan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hujan dan Kekuasaan"

Post a Comment