Tugu Bambu Runcing : Pedagang Kaki Lima, Wakil Rakyat dan Romantisme
Tugu bambu runcing. Salah satu ikon kota Pangkajene, Kabupaten Pangkep. Tempat ini menjadi satu-satunya tempat kumpul masyarakat dari berbagai kalangan di Pangkep pada malam hari. Jajanan sederhana, sarabba, gorengan, coto makassar, jagung bakar, terang bulan dan pisang epe tersedia setiap malam disini. Selain pedagang, ada juga tukang odong-odong, pengamen, dan istana balon.
Tempat ini mejadi simbol "bunuh diri kelas" bagi warga. Tak ada VIP atau diistimewakan, semua diperlakukan sama, duduk di kursi plastik, berlantai tanah dan beratapkan langit. Tugu bambu runcing yang tepat berada di tengah kota Pangkajene, disisi sungai Pangkajene menjadi tempat banyak kepentingan, dari yang sekedar diskusi sama teman, pacaran sampai wisata kuliner keluarga.
Tentang aktifitas pedagang di Tugu Bambu runcing. Pernah beberapa bulan lalu, seorang wakil rakyat daerah ini mengeluarkan pernyataan bahwa akan "membersihkan" pedagang kaki lima disana. Menurutnya sederhana, semrawut, jorok dan tidak jelas pemasukannya ke daerah (pajak/retribusi). Dengan bersemangat ala politisi yang terkena sindrom kekuasaan dan popularitas, dia menyampaikan ini kepada saya.
"Bikin kotor kota saja. Mana bau sekali kalau siang. Pokoknya tahun depan, saya mau tidak ada lagi aktiftas pedagang kalau malam disana. Apalagi tidak jelas pemasukannya untuk daerah ini," ucapnya berapi-api, khasnya memang begini.
Soal ketertiban dan kebersihan, para pedagang disana mengaku membayar retribusi setiap malam. Makanya setiap pagi, mobil dinas kebersihan datang untuk mengangkut sampah. Begitu juga uang listrik, pedagang membayar untuk aliran listrik. Nah kalau sudah membayar, bukankah kalau soal ketertiban dan keamanan bukan hanya tanggung jawab pedagang.
Tak habis pikir saya dengan logika si wakil rakyat. Bukannya melindungi malah meneror. Seharusnya, wakil rakyat itu malu kepada rakyat yang berjuang sendiri memperjuangkan ekonominya. Rakyat tak perah mengemis minta fasilitas apa-apa. Harusnya wakil rakyat itu berterima, rakyat kecil tak membebani mereka. Sebaliknya untuk menjadi wakil rakyat, dia harus mendatangi rakyat dengan janji-janji dan kalau terpilih nanti, rakyat dibebani untuk menggaji dan membiayai seluruh aktifitas mereka sebagai wakil rakyat yang belum tentu untuk rakyat.
Mudah-mudahan saja ia tidak serius dengan idenya itu. Karena, bagi saya sarabbba dan gorengandi Tugu Bambu Runcing bukan sekadar persoalan pedagang kaki limanya. Yang tak kalah penting, lokasi ini menyimpan romantisme saya dan istriku sepuluh tahun lalu. Disana kami sering janjian ketemu dan makan bareng waktu pacaran. Menggusurnya adalah menggusur kenangan romantisku, saya tak rela.
0 Response to "Tugu Bambu Runcing : Pedagang Kaki Lima, Wakil Rakyat dan Romantisme"
Post a Comment