Makassar Tanpa Paragraf
Kita pernah mempersetankan kota ini. Mencintainya dengan mengukur pakai sepasang kaki jalan-jalan protokol sampai ke lorong-lorong beraroma ballo, setelah itu umpatan kata-kata paling kotor sedunia membahana. Itu biasa. Jejak langkah kaki kita mungkin sudah hilang disapu roda kendaraan dan tukang sapu jalan, tapi tidak dalam kepala. Ada kenangan di hampir tiap sudutnya. Bersama barisan orang miskin, buruh pabrik, pedagang kaki lima, tukang becak, sampai pakappala tallang di pasar sentral kita habiskan waktu. Dari lorong, emperan jalan, sampai bedeng-bedeng pekerja yang menempel dibalik tembok gedung tinggi. Dipantai Losari, pernah kita bersama amarah pedagang pisang epe yang digusur. Padahal dalam sejarahnya mereka selalu tersenyum menyambut tamu. Begitu juga pedagang kaki lima pelabuhan makassa, pedagang kaki lima pintu dua unhas, warga panambungan dll. Kita membasis disini. Mengorganisir dengan segala cara, dari idelogis sampai biologis. Masih ingat kau. Malam tadi saya disini, tapi bukan tempat kita dulu. Tadi siang saya lewat depan kampus, namanya sudah berganti. Kalau dulu namanya seperti tahun kemerdekaan, sekarang namanya seperti merek semen. Kampus dekat kilo empat. Sering kita terbahak sekaligus jijik melihat teman-teman sekampus kita, mahasiswa bersepatu mengkilat dan kemeja yang bekas setrikaan kemejanya setajam silet, aktifis banget kelakuan makelar. Mereka bersama pejabat, yang kerjanya memupuk kekayaan dari anggaran daerah dan sibuk menyiapkan anak-anaknya menjadi penerus kekuasaan. Di kilo empat, tempat kita dulu membentang spanduk orasi melawan rezim, berpanas dan berpeluh berteman debu dan bocah-bocah penjual koran yang merangkap pengemis. Barisan intel berpakaian aneka rupa berharap tak ketahuan, masuk dalam barisan menandai wajahku dan wajahmu. Selalu ketakutan kalau pulang ke kosan. Pernah suatu waktu pulang ke kos disambut surat panggilan dari polisi. Hehe, Dulu polisi sibuk urus kita. Sekarang saya berdoa mereka sukses mengurus dan memberantas begal yang menjadi teror warga kota. Makassar, kita pernah bercerita bahwa suatu saat kita akan merindukannya dan itu benar. Kita sama-sama tak dilahirkan di ini Kota tempat hati, otak, ideologi dan kita pernah kita pertaruhkan dan perjuangkan.
0 Response to "Makassar Tanpa Paragraf"
Post a Comment