Krisis Identitas ; Enggan Disebut Kapitalis dan Marah Disebut Sosialis
Saya selalu kagum pada tokoh sejumlah progresif. Bukan sebatas heroikme mereka dalam berjuang. Namun, hal yang paling keren menurutku adalah rasionalitas mereka menjelaskan sesuatu dalam kondisi apapun.
Sukarno dalam penjara ia mampu menyelesaikan "Indonesia Menggugat", begitu pun Tan Malaka, Hamka, Bung Hatta, Pramudya Ananta Toer bahkan Budiman Sujatmiko. Dalam kondisi tertekan, dibawah intimdasi serdadu rezim yang menangkapnya mereka bisa menjelaskan alasannya menentang dan melawan.
Bahkan seperti salah satu anggota politbiro Comitee Central PKI, Sudisman saat menghadapi mahmilub tentang keterlibatannya dalam G30S, masih mampu berpantun dalam pledoinya. Padahal ia menyadari bahwa ujung dari persidangan ini adalah MATI.
Mereka bukan hanya matang ideologi yang mereka yakini tapi mereka memahami situasi. Bandingkan dengan saat ini mahasiswa atau aktifis LSM yang hanya bermodalkan semangat (dan proposal), waktu orasi suaranya paling lantang menggelegar (kadang tanpa isi) tapi giliran ditangkap kalau demo, pasti langsung mewek atau minta ampun.
Menjatuhkan pilihan menjadi pejuang rakyt memang tak mudah. Tidak boleh hanya modal heroik dan jago bicara. Modal besarnya adalah harus punya ideologi gerakan yang landasan filsafatnya mampu membaca kondisi riil rakyat, selama itu tak dia punya, maka selamanya kita akan ketemu mereka yang siang demo malamnya minta duit sama yang didemonya (biasanya alasan mereka kegiatan organisasi).
Ya, memang banyak nama diatas yang menjadi orang asing dalam buku sejarah. Bahkan sepanjang perjalanan pemerintahan Orba, pelajaran sejarah kita isinya kebencian, traumma dan doktrin akan semangat yang meledak-ledak, seolah negara ini merdeka hanya dengan bedil saja. Dan membuka arsip sejarah lama adalah sebuah kedurhakaan kepada bangsa dan negara.
Sungguh, tak ada yang meragukan jika negeri ini dibangun dengan ide-ide yang sangat revolusioner dan menjadi inspirasi kemerdekaan banyak negara lain. Sayangnya, para penerusnya membelokkan arah ide itu dan memilih mengistirahkan rasionalitas lalu menjadi bangsa krisi identitas; enggan disebut kapitalis dan marah disebut sosialis.
0 Response to "Krisis Identitas ; Enggan Disebut Kapitalis dan Marah Disebut Sosialis"
Post a Comment