Sibuknya sistem pencernaan usai lebaran (pendekatan ilmu biologi)
Satu hal yang selalu terjadi setelah ramadan, adalah perubahan pada kondisi perut. Setelah perubahan jadwal makan minum selama maka saat lebaran datang, suasana kembali "normal". Saya membayangkan betapa kagetnya perut kita, ya setidaknya sepekan pertama bulan syawal. Makanan berat ala kita, kari, coto, konro, sop saudara, opor ayam, ketupat, buras, lontong sampai kue kering, kacang telur, kacang sembunyi dan tape semua akan masuk kedalam perut secara massif mengikuti rute silaturahmi rumah kerabat dan kawan.
Setelah ucapan permohonan maaf paling baku ala idul fitri, "mohon maaf lahir batin" saat kita massiara (silaturahmi dengan mengunjungi kerabat usai lebaran) berarti waktu makan.
Itu tentu diluar makan di warung yang kemarin tutup siang hari. Lihat saja warung-warung bakso yang parkirannya tiap malam penuh. Atau pemandangan di Tugu Bambu runcing sisi sungai Pangkajene, para pemburu kuliner berjubel. Pedagang yang panen pembeli sampai kewalahan melayani.
Ini memang waktunya makan sepuasnya. Dalam dua tiga hari lebaran, ajakan untuk hadir di acara open house akan berdatangan. Tunggu setelah sepekan ada lagi undangan-undangan halal bi halal dari berbagai instansi dan organisasi. Meski berbahasa asing Open house (inggris) dan halal bi halal (arab), tetap saja keduanya berarti makan.
Konsekuensi dari banyak makan pasti akan diikuti dengan aktifitas buang air yang semakin tinggi. Jadwal buang air akan bertambah, kalau di ramadan buang air kadang sehari bahkan dua hari sekali maka sekarang bisa dua sampai tiga kali sehari. Memang tidak bisa dihindari, apalagi mau ditahan, oh jangan !
Memang lebaran identik dengan momen silaturahmi. Dan silaturahmi setelah lebaran bagi kita orang timur berarti makan. Semakin banyak silaturahmi berarti semakin banyak makan. Meski sebagian kita tidak perlu silaturahmi untuk banyak makan karena ada juga yang memaknai lebaran datang berarti makan sepuasnya. Lebaran menjadi ajang melampiaskan larangan makan selama ramadan. Padahal jujur saja, menu ramadan untuk sahur dan buka kita biasanya menyiapkan makanan terbaik, namun karena tidak memuaskan lebaran kita kembali berburu makan.
Ceramah tarawaih yang paling populer sejagat raya tentang pesan puasa sebagai wadah mendidik kita menahan diri, melintas. Katanya, kualitas puasa seseorang bukan dilihat di bulan ramadan tapi setelah ramadan, apakah setelah ramadan ia bisa menahan diri untuk tidak berlebih-lebihan, apalagi untuk urusan makan. Tapi, ah sudahlah. Si ustad yang ceramah itu dimesjid dekat rumah juga memposting gambarnya duduk manis didepan meja makannya yang penuh makanan sambil tersenyum simpul.
Saya tidak bilang bahwa makan banyak usai lebaran adalah hal buruk, bukan. Hanya ingin mengingatkan betapa sibuknya aktifitas
pencernaan makanan dalam tubuh kita. Memasukan makanan ke mulut, mengunyah dengan gigi lalu menelan di kerongkongan, terus proses digesti yaitu proses perubahan makanan dari zat yang kompleks menjadi molekul – molekul yang lebih sederhana dengan bantuan enzim yang ada di lambung, setelah itu penyerapan sari makanan di usus besar dan terakhir pengeluaran sisa – sisa makanan yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh melalui organ anus.
Tapi tetap saja kita orang timur, orang indonesia, orang sulawesi selatan yang menjadi kehormatan kita memberikan makanan dan adalah tidak elok menolak ajakan makan, apalagi kalau ajakan makan itu datang habis lebaran alias massiara. Ada yang mau ngajak saya massiara dirumahnya?
0 Response to "Sibuknya sistem pencernaan usai lebaran (pendekatan ilmu biologi)"
Post a Comment