Sahur sampah
Ia melawan kantuknya saat bapaknya membangunkannya dengan lembut. Tak menunggu waktu lama, ia bergegas mencuci muka, tak ada sarapan. Diambilnya jaket dan karung bekas disandangnya melangkah mengikuti bapaknya. Sesekali bocah itu berlari sebab langkah sang bapak lebih cepat, berlomba mengejar waktu. Saat anak seusianya sedang tertidur lelap, ia ikut bapaknya memulung sampah, melawan dingin, melawan keadaan yang semakin menjepit.
Umurnya delapan tahun. Tahun ini ia baru naik kelas tiga sekolah dasar. Sebenarnya, tidak setiap hari ia ikut memulung. Hanya kondisi tertentu, seperti saat ini, jelang lebaran dan tahhun ajaran baru disekolah. Bocah kecil itu seperti paham dengan kondisi orang tuanya yang miskin. Ia tahu benar jika tak ikut memulung, baju baru untuk lebaran dan tas, sepatu dan seragam baru untuk sekolah hanya sebatas angan saja. Ia tahu benar, kebutuhan keluarganya untuk lebaran jauh lebih penting dari sekadar sendal baru atau songkok baru.
Padahal hari masih gelap. Azan subuh juga belum terdengar. Di taman kota, ia berpisah dengan bapaknya. Ia berjalan sendiri, jaket ia kancing kuat-kuat, dingin. Saya duduk mengikutinya dengan mata dengan niat sahur. Nasi kuning dalam kotak streofoam didepan saya dengan lauk lengkap, ayam goreng, rawon, telur, tempe, tahu, perkedel, sambal dan pisang menjadi tak menarik. Tak kuat saya makan enak dengan pemandangan tang bagiku menampar rasa kemanusiaan itu. Bagaimana saya bisa makan enak dengan lauk lengkap, di depan saya seorang bocah kecil, melawan dingin dan lapar sedang mengais sampah untuk sekadar bertahan hidup.
Saya berfikir, dimana dinas-dinas pemerintah yang seharusnya mengurus orang miskin. Bukankah setiap tahun anggaran sosial untuk orang miskin tersedia dalam rencana kegiatan mereka. Angka orang miskin sampai alamatnya juga jelas tapi tidak sampai. Saya ingat seorang kawan yang bekerja di sebuah instansi yang tugasnya mengurus orang miskin. Yang saya ingat dari kawan ini setiap bertemu, pembicaraannya sering seputar kegiatan seremoni, foto-foto, pertanggung jawaban dan pencairan anggaran. Ya lagi-lagi anggaran, uang. Kalau petugas di instansi inii saja yang sudah digaji untuk mengurus orang miskin masih mencari sampingan dari kegiatan lalu bagaimana kita percaya pada klaim angka penurunan angka kemiskinan.
Ramadan sisa dua hari, masyarakat terbagi dua. Satu bagian konsentrasi mencukupi kelengkapan lebaran dengan berburu diskon besar, mengecat rumah, gorden baru, pakaian baru, kue kering, buras, ketupat, segala simbol kemenangan. Sebagian lagi memilih itikaf di mesjid-mesjid, memohon ampun atas dosa, melantunkan pujian serta doa-doa terbaik, dan menanti datangnya idul fitri, hari dimana kembali terlahir bersih seperti bayi yang baru lahir. Bocah itu tak masuk golongan manapun, ia tak punya uang untuk berburu diskon, ia juga tidak itikaf mesjid sebab itikaf baginya adalah libur dan memenuhi kebutuhan hidup tak punya waktu libur.
Pernah saya komplain terhadap bentuk penanagan kemiskinan pada kawan saya ini. Tapi dijawabnya lugas, "kaya miskin itu sunnnatullah, kalau sudah tidak ada kaya dan miskin itu berarti sudah kiamat". Pantas saja, tidak ada respon apa-apa saat kuceritakan lagi kisah bocah yang harus memulung subuh dan kisah terulangnya mayat bayi yang dibonceng sepeda motor karena tidak ada biaya untuk membayar biaya ambulance. Kawan saya tidak merespon, saya paham : ia takut kiamat.
Terburu-buru saya melangkah pulang, meninggalkan bocah itu dengan bapaknya memulung lebih tenang. Sampai di rumah, kudapati anak-anak saya sedang makan sahur. Mata saja tertuju sama sekotak otak-otak ikan yang harganya bisa tiga karung gelas plastik bekas. Diajaknya saya makan sahur, kujawab dengan senyum saja, wajah bocah pemulung yang lapar itu membayang dalam kepala..
0 Response to "Sahur sampah"
Post a Comment