Media massa jangan jauh dari persoalan rakyat
Ilustrasi (republica.co) |
Media sosial ramai dengan aktifitas me"like" dan men"share" berita-berita yang menyudutkan berita Kompas TV tentang razia bu Saeni. Uniknya,rata-rata yang dishare itu berita dari media yang "tidak terkenal". Isinya rata-rata seragam; pemberitaan kompas tidak obyektif, sarat tendensi agama, menyerang bu saenih (katanya orang kaya) dan mengajak orang tidak percaya sama pemberitaan kompas dan razia warung adalah tindakan yang legal dan harus dilakukan selama bulan ramadan agar tidak mengganggu kekhusukan orang puasa.
Mundur sedikit ke belakang, waktu isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) lagi kencang-kencangnya berhembus. Aktifitas "like" dan "share" seperti ini juga marak, dan sumbernya sama, media online yang kredibilitasnya tidak teruji. Metodenya sama, secara politik juga sama, membenarkan tindakan kekerasan, kompromi terhadap fasisme dan anti keberagaman serta yang pasti provokatif. Media-media online yang baru terlihat itu seperti menguasai media sosial, meski muatannya lebih bersifat opini bukan berita.
Lalu ada apa dengan media massa kita? Apakah media massa mainstream sudah terpisah dari ibu kandungnya yakni rakyat, sehingga rakyat lebih doyan membaca, menyukai dan membagikan link berita dari media yang semangatnya jauh dari semangat lahirnya pers nasional. Padahal pers Indonesia dalam sejarahnya lahir dari perjuangan panjang bahkan jauh sebelum revolusi kemerdekaan. Kurang heroik apa media massa nasional dalam sejarahnya, berita-berita lama tentang sikap tegas anti anti fasisme, anti neokolonialisme dan pembangunan identitas bangsa semua bagian dari kelahiran media nasional.
Ya memang sih kalau mau diakui, bahwa semakin basar media semakin besar pula biaya operasionalnya. Sehingga tidak jarang, media-media besar hanya sibuk mengejar oplah, iklan, rating, page view dan lain-lain. Akhirnya, makin hari media kita semakin jauh dari kesusahan hidup rakyat, mereka lebih suka menjadi corong rezim agar mesin tetap bekerja. Hal ini ditambah dengan perekrutan wartawan yang bermental pencari kerja saja. Mereka bekerja, liputan sesuai dengan perintah dari atas, tak peduli isinya, yang penting dapat gaji. Mereka bicara independensi pers, netral senetral-netralnya. Tidak berpihak dan tidak bersikap atas apapun yang terjadi. Berita yang dihasilkan hanya kronologi kejadian saja ditambah dengan judul yang WAH. Yang penting dibayar, selesai tugasnya.
Atau berlomba menulis berita tentang tetek bengek kehidupan pejabat yang sebenarnya merendahkan orang banyak. Tak jarang para wartawan ini kehilangan angel, bingung mencari apa yang penting sebab doktrin kantornya hanya mencari sisi yang menarik. Dan yang menarik bagi kantor adalah isu yang sekedar sensasional saja.
Bukan saya sepakat dengan razia warung bulan ramadan, bukan itu. Bukan tentang warteg bu Saeni atau sumbangan ratusan juta itu. Namun ini urusan jurnalistik. Ini hanya keprihatinan atau apalah namanya karena melihat kenyataan ini ; media jangan jauh dari persoalan rakyat.
0 Response to "Media massa jangan jauh dari persoalan rakyat"
Post a Comment