Satu Malam di Pertengahan 2003




Pertengahan 2003. Seorang kawan satu jurusan naik ke sekretariat Mapala 45 Makassar, mencariku. Ia memberitahu bahwa keluargaku menunggu didepan kampus. Tanpa curiga saya turun dari basecamp Mapala dan menuju gerbang. Tak kusangka, dua orang lelaki bertubuh kekar langsung membekapku dan menaikkan tubuhku yang ringkuh naik sebuah minibus. Hanya hitungan detik saya sudah duduk dalam minibus diapit dua orang yang membekapku tadi. Teman yang mengajakku tadi duduk diam di kursi belakang berdua dengan seorang tak kukenal. Dikursi depan supir yang juga tak kalah kekar didampingi seorang bertubuh tambun ber PDH ormas, sesekali dia memerintah kepada dua orang tadi untuk menelpon temannya yang lain tentnag penjemputan mahasiswa lain yang demo tadi siang. Saya diculik.

Ada rasa takut dalam hatiku. Banyak pertanyaan yang muncul. "Selesaika," pikirku.

"Mana rumah temanmu yang lain," tanya si tambun ber PDH ormas dari kursi depan."Kau korlapnya tadi? Jangan macam-macam dengan bos kami," lanjutnya.

Saya menjawab singkat. "tidak tahu". Mobil terus melaju mengitari sudut-sudut utara kota. Mereka sepetinya berkoordinasi, saling menanyakan tentang siapa saja aktifis yang berhasil diamankan malam ini. Oh ternyata bukan hanya saya, sejumlah kawan lain juga sedang dicari. "Cuma satu orang.. ok, langsung ma kesitu," kata si Tambun di telepon genggamnya. Berarti kawan-kawan saya yang lain lolos. Cuma saya, deg!

**
Siangnya saya memimpin demo menolak pengadilan sejumlah kawan yang Pengadilan Makassar. Usai disini, entah sejumlah orang mengarahkan massa yang rata-rata mahasiswa baru ke depan polrestabes Makassar untuk demo penjudian terselubung di Lapangan Karebosi dalam Makassar Fair. Didepan polrestabes, orasi demo berjalan aman-aman saja. Kami orasi bergantian. Tak nyana, tiba-tiba gerombolan orang-orang datang dan langsung menghajar massa dengan membabi buta. Polisi yang berjaga tak berbuat apa-apa. Didepan mata para penegak hukum yang bersemboyan pelindung, pelayan dan pengayom itu massa dihajar dengan apa saja yang ada didekitarnya. Kejadiannya sangat cepat. Massa berhamburan. Saya sempat melihat seorang massa dihajar dengan megaphone dan diinjak-injak. Darah segar menetes dari telinganya. "Bunuh saja," teriak para penyerang. Saya diselamatkan seorang supir mobil pribadi yang terparkir disekitar lokasi itu. Saya tunduk dalam mobil sembunyi, sejumlah orang menyisir sekitar mobil tempat saya sembunyi.

Usai memukul massa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mereka pergi begitu saja. Polisi yang tadi diam sekarang maju dan mengamankan orang-0orang yang luka kedalam pos jaga digerbang polrestabes. Kami kambali berkumpul dan pulang ke kampus. Seorang memperingati saya untuk berhati-hati, bahwa orang dibalik penyerangan adalah orang kuat di kota ini. Saya diam saja dan memilih beristirahat ke basecamp Mapala 45, tempat paling damai di kampus ini.

**

Saya disuruh turun oleh penjemput saya. Saya melihat banyak orang disitu. Mereka bersorak, menunjuk-nunjuk kearah saya dan bertepuk tangan kemenangan saat melihat saya yang tak berdaya digiring duduk dihadapkan ke bosnya. Saya tidak fokus dengan sorakannya, meski tertekan, takut, saya berusaha untuk fokus pada pikiran saya untuk tetap waras.
Dimeja ini, sang bos tak sendiri, ada dua tiga orang yang saya kenal. Ada ketua partai, ada dua orang aktifis organisasi mahasiswa yang suka bicara moral, dan dua orang lagi dari kampus saya, seorang dosen dan seorang ketua lembaga kemahsiswaan. Diatas meja, berbungkusbungkus rokok dan selusin botol bi merek bir bintang yang sudah terbuka lengkap dengan gelas tinggi. "Kamu kecil, kecil sekali dimata saya. kalau saya mau kau mati, kamu mati. Kenapa kau ganggu saya. Uang saya banyak keluar disana, uang keamanan saya sudah kemana-mana. Ini semua disamping saya anggota (menyebut satuan keamanan negara), mereka semua sudah terima uang dari saya. Jadi kemanapun kamu mau melapor itu sia-sia," katanya menghardik.

Si ketua partai mengambil pistol kecil yang tergeletak diatas meja dan menodongkan kepaku. Tepat didepan wajahku. Mataku juling melihat lubang pistol tepat mengarah didepan hidungku. "Apa kamu, mau mati,". Ujung pistol diktok-ketokkan dijidatku. Dingin logam terasa sampai kedalam otakku, sesekali ditodongkan agak lama.

Saya diam saja, tunduk melihat sepasang kakiku yang bersendal jepit tipis merek eiger. Kulihat celana jeansku yang sudah bolong dikedua lutut. "Oh seperti ini toh rasanya dibawah tekanan. Saya ini lawannya, saya tidak boleh memperlihatkan rasa takutku didepannya. Mereka menang kalau kalau saya takut, saya tidak boleh tunduk,". Kepalaku yang sedari tadi merunduk keangkat dan mengahadap kedepan, meski mataku tidak fokus menatap wajah mereka-mereka satu persatu, yang penting saya tidak tunduk.

"Saya tahu kamu dan kelompokmu. Kelompokmu ini yang suka buat rusuh, provokator, komunis," kata si aktifis moral sambil memegang telinga gelas tinggi yang berisi bir. Saya hanya tersenyum. "Ah dia hanya memperlihatkan kejagoan di depan bosnya. Hahah Kampret," begitu gumam dalam kepalaku. Mahasiswa ini kukenal sebagai salah satu senior di organisasinya yang bersimbol agama. Mulutnya kerap berbusa dikampus kalau sudah ngomong tentang idealisme, agama, tuhan,halal-haram, dan moral, MORAL ! Ia juga suka melakukan demo ditempat-tempat yang disebutnya tempat maksiat, walau belakangan kutahu demo  dia dapat jatah gratisan untuk masuk di malam ladies. Jijik,

Di posisi tertekan ini, khusus untuk si moralis ini, saya merasa menang. Saya yang kerap dituduhnya tidak bermoral ini berhadapan dengan kelompok tidak bermoral yang dibelanya.

Tidak ada kesepakatan malam ini. Mereka meminta saya untuk memberi jaminan tidak akan ada lagi demo. Saya menolak dengan berbagai alasan. "Saya bukan pengurus lembaga di kampus. Kalau mau jaminan itu tanya sama orang lembaga," jawabku berkelit. Tak terasa, mesjid yang takjauh dari lokasi ini bunyi, waktu sholat subuh sudah masuk. Sang bos memerintahkan si tambun memulangkan saya kembali ke kampus. Tak ada kesepakatan; menang. Besok saya mau demo lagi.

***
Tiga belas tahun setelah kejadian, saya tak pernah lagi turun ke jalan. Tubuh yang dulu ringkih dengan berat badan hanya 40-50 kilogram, sekarang membengkak menjadi 65 kilogram. Jeans saya tak lagi bolong. Cuma hobby memakai sendal jepit masih kulanjutkan. Menidurkan anak-anak menjelang malam sembari menyanyikan lagu perjuangan "Darah Juang" dan doa-doa adalah perjuangan baru. Membuat mereka tersenyum dan tetap sehat menjadi perjuangan baru. Ideologi dan sisa-sisa keberanian massa lalu kusimpan dan keselipkan diantara sarapan dan makan malam mereka.

Ada rindu pada masa-masa itu. Masa adrenalin terpacu kencang dan mata melihat dunia hitam putih.



Tonton juga..!

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Satu Malam di Pertengahan 2003 "

Post a Comment