Mei 98 - Mei 2016
suara-suara itu terdengar serak menggema
derap kaki mereka masih terdengar
saat jalan-jalan basah oleh darah yang dipaksa tumpah
rentetan tembakan dan pentungan yang mengayun ke tubuh lemah
atas nama keamanan demokrasi dibayar peluru
kain-kain spanduk yang lusuh
tuntutan perubahan itu menggema
dan sekali lagi bukan jawaban yang didapat
senjata, senjata dan sepatu lars
hari itu adalah hari ini
Saya masih kelas dua Aliyah saat aksi-aksi mahasiswa menuntut reformasi menggema diseantero negeri. Yang saya ingat, beberapa waktu sebelum peristiwa itu, tulisan-tulisan ditembok-tembok kota tentang dukungan mereka terhadap gerakan reformasi marak. "Kami mendukung reformasi", begitu kurang lebih tulisan didepan toko-toko, kantor perusahaan bahkan kantor pemerintahan. Konvoi mahasiswa dengant truk sering juga melintas di depan pesantren tempat saya sekolah, Pesantren Darul Arqam Gombara Makassar. Tak jarang, selebaran-selebaran yang mereka bawa sengaja dibuang dan mampir kedalam asrama, menjadi bahan diskusi kami, santri yang jauh tidak akrab dengan informasi dari luar. Dari situ kami tahu, negara sedang tidak aman-aman saja.
20 Mei 98, menjadi puncak perlawanan, seluruh elemnen rakyat turun ke jalan. tak terkecuali kamu, santri di mpesantren Muhammadiyah, yang ketua PPnya kala itu Amin Rais, tokoh yang menyerukan aksi besar-besaran pada Harkitnas. Dengan menumpang truk, saya dengan teman-teman ikut dalam momentum sejarah itu. Menuntut Suharto lengser dari jabatannya.
Saya baru mengerti tuntutan reformasi para mahasiswa itu saat saya kuliah, dua tahun setelah lengsernya Suharto. Bersyukur, dikampus saya masih sempat bertemu dengan para veteran reformasi. Dari diskusi-diskusi dengan mereka saya paham, bahwa tuntutan reformasi tidak sampai pada penjatuhan Suharto saja, tapi lebih. Dari diskusi itu juga saya tahu bahwa gerakan reformasi 98 adalah puncak dari sebuah perjuangan panjang pemuda kelas menengah ini menentang pemerintahan otoriter Suharto. Cerita tentang penculikan, pembunuhan, teror smapai tuduhan-tuduhan makar, komunis, mereka alami pada proses panjang itu. Selama aktif menjadi mahasiswa, setiap tahun tanggal ini diperingati di jalan.
Hari ini delapan belas tahun reformasi, apa kabar enam agenda reformasi. Enam tuntutan diantaranya, penegakan supremasi hukum, pemberantsan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), adili Suharto dan kroni, amandemen konstitusi, cabut dwi fungsi TNI/Polri, dan otonomi daerah seluas-luasnya.
Ya dari enam tuntuan, ada yang jalan meski terseok, ada yang bahkan tidak terwujud. Seperti penegakan supremasi hukum, hukum masih belum seratus persen berpihak pada keadilan. Mafia hukum, masih mengangkangi lembaga-lembaga hukum yang ada. Kata orang, pedang hukum masih tajam kebawah dan tumpul keatas. Lihat saja bagaimana perlakuakan negara kepada perampok uang rakyat dibanding perlakuannya kepada maling rokok. Koruptor disambut bak raja, maling rokok dihajar sampai babak belur.
Jangan sebut tuntutan mengadili Suharto dan kroninya, bicara ini lagi bisa dituduh PKI. Sekarang malah kencang tuntutan, khususnya dari Partai Golkar agar Suharto diangkat menjadi pahlawan nasional. Saya teringat kata-kata yang mengatakan, bahwa "pahlawan itu orang yang rela mempetaruhkan hidupnya untuk orang banyak, kalau Suharto banyak hidup orang diambil untuk kepentingan hidupnya sendiri,". Apalagi tap MPR tahun 1998, tegas menyebut Suharto secara individu sebagai orang yang harus diadili, kekuatan TAP MPR ini sama dengan kekuatan TAP MPR tahun 1966 tentang pelarangan ajaran marxisme dan leninisme.
Begitu juga dengan tuntutan penuntasan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM, penculikan 13 aktifis yang hingga kini tidak jelas keberadaannya dan penembakan mahasiswa di Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Yang ada jenderal-jenderal yang seharusnya bertanggung jawab kini menjadi pembesar di negeri ini.
Begitulah tuntutan reformasi memang belum tuntas, sementara persoalan bangsa yang lain terus muncul. Dari maslah sepak bola sampai masalah kekerasan seksual. Dari masalah papua merdeka sampai banjir Jakarta. Dari masalah reklamasi pantai teluk benoa sampai reklamasi jakarta. Dari isu PKI bangkit sampai isu KPK dilempar batu. Dan ditengah peliknya persoalan bangsa, kaum muda kelas menengah yang cerdas bernama mahasiswa itu asyik dan gagah dengan jam almamaternya di acara-acara alay televisi. Menjadi penonton bayaran, diarahkan tertawa sampai joget.
Dan lulu-lucunya, mereka mau turun jalan hari ini. Katanya ribuan mau kepung istana, menjatuhkan pemerintahan mengulang demonstasi 98 dulu. Saya membayangkan sampai depan istana dan mereka berhadapan dengan polisi lalu bentrok bukan karena tuntutan mereka yang menggetarkan istana. Tapi karena nasi bungkus yang telat datang. Fenomena ini banyak terjadi pasca reformasi. Tapi, silakan saja, asal demonstrasi jangan lagi dianggap sebagai pembelajaran saja, demonstrasi itu perlawanan!
hari ini adalah dua puluh satu mei 2016
0 Response to "Mei 98 - Mei 2016"
Post a Comment