Penyesalan Selalu di Belakang (sebuah judul basi)
Jumat pagi di Lapangan Karebosi, akhir 1996. Dibawah pohon besar nan rindang Lapangan karebosi, Ujung Pandang (sekarang Makassar). Dibawah tenda krucut berwarna hitam, seorang penjual dengan microphone diikat dengan sapu tangan di lehernya menawarkan penonton membeli kotak sebesar batu bata. Harganya beragam, penawarannya juga menarik sebab harganya terus turun dengan jumlah kotak rahasia terus bertambah.
Sambil terus menawarkan kotak jualannya yang harganya terus turun, sesekali dilapnya liur di mic dengan sapu tangan dari saku celananya. Penawaran yang harganya terus turun ini tidak menarik penonton yang berjubel. Dan akhirnya, si penjual membuka salah satu kotak sebesar bata itu isinya sebuah jam tangan merek terkenal yang langsung dimasukkan ke dalam gelas berisi air. Pembuktian sederhana bahwa jam itu asli, buktinya anti air.
Ia tertawa dan bilang ke penonton "bapak-bapak pasti menyesal karena harga jam tangan ini di toko-toko jutaan rupiah. Bagaimana dengan kotak ini, kalau sudah saya buka jangan menyesal lagi karena saya tidak akan jual barang yang sudah keluar dari kotak,".
AKhirnya seorang pemuda dengan kemeja rapi berwarna biru muda memberikan uang dan menunjuk salah satu kotak yang satu paket dengan kotak yang dibuka tadi. Usai membeli kotak si pemuda menjauh membuka kotak. Berselang sekian menit, ia datang memamerkan sebuah cincin emas yang beratnya 10 gram.
Akhirnya dagangan kotak misteri si penjual kotak ini mulai laris. Sesekali dibuka dan di pamerkannya kotak yang isinya Jam tangan mewah, cincin emas, uang tunai saat jeda tidak ada yang berani membeli. Kali ini hargnya tak lagi turun tapi terus dinaikkan seperti lelang.
Tapi bukan hanya barang-barang mewah yang ada dalam kotak, ada juga yang isinya hanya sendok sebatang, sebungkus sabun colek bahkan ada kotak kosong
Ada kemenangan diwajah mereka yang mendapatkan barang berharga dari kotak. Walau kemudian belakangan daripenjual bubur kacang ijo yang tak jauh dari situ bahwa yang dapat hadiah itu temannya si penjual. "Itu namanya Pakappala Tallang, yang dapat hadiah hanya temannya. Jangan dekat-dekat, mereka biasa pakai hipnotis juga supaya orang mau beli,". Saya manggut-manggut saja. "Saya sudah sering lihat disini orang yang menyesal. Tapi itu kan resikonya, siapa suruh percaya," ujarnya menyodorkan semangkuk bubur panas dengan santan kental diatasnya.
Sementara si pembeli yang kotaknya berisi sendok atau sabun sangat kecewa. Ada kemarahan merasa tertipu sudah tergiur dengan bujuk rayu si penjual. Bahkan, kata tukang bubur, pernah ada petugas keamanan yang mengamuk karena menghabiskan gajinya sebulan untuk membeli beberapa kota yang isinya sabun cuci batangan. Penyesalan diwajah mereka, seakan membayangkan waktu bisa berputar kembali dan memilih untuk tidak datang ke lapangan karebosi dan membeli mahal sebuah kotak yang isinya bukan apa-apa. Air muka mereka berkata "saya bodoh". Uang yang melayang seharga dengan impian akan isi kotak. Dan semakin besar uang melayang semakin besar kekecewaan mereka.
Suara azan Jumat berkumandang dari Mesjid Raya Makassar. Bersama sejumlah teman sekolah di pesantren yang sedang liburan, kami mendatangi suara azan sambil ngobrol tentang "kemenangan" si Pakappala Tallang yang pulang bawa banyak uang. Ada juga rasa kasihan dalam hati kepada mereka yang tertipu. Tapi wajah tukang bubur muncul dan menginterupsi rasa kasihanku, tegas berkata "Tapi itu kan resikonya, siapa suruh percaya,".
0 Response to "Penyesalan Selalu di Belakang (sebuah judul basi) "
Post a Comment